Evaluasi Kritis: Sistem Pilkada Indonesia Dinilai Gagal Capai Efektivitas Maksimal, Apa Kekurangannya?

Sistem Pilkada Dinilai Belum Efektif 100 Persen

DiskusiBerita.com – Evaluasi terhadap sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah berjalan hampir dua dekade menjadi sorotan serius dari kalangan pemerintahan. Banyak pihak menilai, sistem Pilkada langsung yang selama ini diterapkan belum sepenuhnya mampu melahirkan daerah yang benar-benar mandiri, berdaya saing, dan mampu membangun tanpa ketergantungan tinggi terhadap pusat.

Pandangan ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri, Bachtiar, yang menilai bahwa sistem rekrutmen politik melalui Pilkada masih menyisakan banyak persoalan mendasar, terutama dalam hal efektivitas otonomi daerah.

Daerah Masih Bergantung pada Pusat

Menurut Bachtiar, meskipun secara konstitusional Indonesia telah menerapkan sistem desentralisasi dan otonomi daerah, kenyataannya sebagian besar daerah di Tanah Air belum benar-benar otonom dalam praktiknya. Sebagian besar anggaran daerah masih sangat bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat, baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun Dana Bagi Hasil (DBH).

“Kalau kita lihat data, hampir seluruh daerah belum bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Masih bergantung pada dana transfer pusat. Inisiatif lokal dan kreativitas daerah untuk menggali potensi ekonominya sendiri masih sangat terbatas.” ujar Bachtiar saat menghadiri rilis Indeks Partisipasi Pilkada 2024 yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Jakarta, Jumat (17/10/2025).

Bachtiar menjelaskan bahwa ketergantungan fiskal ini menjadi salah satu indikator bahwa sistem politik dan tata kelola daerah masih perlu dibenahi. Jika Pilkada dimaksudkan untuk melahirkan pemimpin daerah yang inovatif dan mampu mendorong kemandirian ekonomi, maka hasil yang tampak saat ini belum sesuai dengan harapan.

“Pilkada seharusnya menjadi sarana melahirkan pemimpin daerah yang berpikir strategis dan mandiri. Tapi faktanya, banyak kepala daerah yang hanya melanjutkan kebiasaan lama: bergantung pada pusat tanpa inovasi lokal yang kuat.” tambahnya.

Sistem Demokrasi yang Dinamis dan Adaptif

Dalam pandangan Bachtiar, sistem demokrasi di setiap negara, termasuk Indonesia, bersifat dinamis dan adaptif. Artinya, sistem Pilkada yang berlaku saat ini tidak bisa dianggap sebagai sistem yang final dan permanen. Menurutnya, perubahan dan penyesuaian akan selalu diperlukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dinamika sosial politik, serta kebutuhan masyarakat.

“Tidak ada satu sistem pun yang bisa dianggap paling sempurna atau berlaku selamanya. Demokrasi selalu berkembang, dan sistemnya harus bisa menyesuaikan dengan tantangan baru.” jelas Bachtiar.

Sistem Pilkada langsung yang pertama kali diterapkan pada tahun 2005, lanjutnya, merupakan bentuk inovasi politik besar dalam sejarah demokrasi Indonesia. Namun setelah hampir dua dekade berjalan, sudah saatnya dilakukan refleksi mendalam terhadap hasil dan dampaknya bagi tata kelola pemerintahan daerah.

“Kalau kita menilai dari kondisi daerah sekarang, masih banyak tantangan. Bahkan daerah seperti DKI Jakarta, yang dianggap paling mandiri sekalipun, masih mengandalkan dana transfer dari pusat. Artinya, otonomi fiskal belum sepenuhnya berjalan.” ujarnya.

Evaluasi dan Tantangan Sistem Pilkada Langsung

Bachtiar menegaskan bahwa baik sistem Pilkada langsung maupun tidak langsung sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan. Karena itu, yang terpenting bukan pada modelnya, tetapi pada kualitas hasilnya — yakni apakah sistem tersebut mampu melahirkan pemimpin yang berintegritas, berorientasi pelayanan publik, serta memiliki visi pembangunan jangka panjang.

“Entah mau langsung atau tidak langsung, yang paling penting adalah menghasilkan kepala daerah dengan jiwa negarawan. Mereka harus mampu memperjuangkan kesejahteraan rakyat, mempercepat kemajuan daerah, dan menegakkan keadilan.” kata Bachtiar.

Ia juga menyinggung bahwa pelaksanaan Pilkada langsung kerap menimbulkan masalah hukum, politik uang, hingga konflik sosial di masyarakat. Tidak sedikit pula kepala daerah hasil Pilkada yang tersandung kasus korupsi atau gagal menjalankan amanah rakyat.

“Kalau kita lihat dari hasil evaluasi, sistem Pilkada langsung juga melahirkan banyak problem, termasuk penyalahgunaan kekuasaan dan lemahnya akuntabilitas publik. Karena itu, perlu dipikirkan model perbaikan yang bisa menutup celah-celah tersebut.” ungkapnya.

Mendorong Reformasi dan Revisi Regulasi Daerah

Lebih jauh, Bachtiar mendorong agar pemerintah dan DPR RI melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) sebelum memutuskan untuk mengubah sistem Pilkada. Menurutnya, banyak masalah yang terjadi di daerah justru berasal dari lemahnya regulasi dan tumpang tindih kewenangan antar level pemerintahan.

“Kalau mau memperbaiki sistem Pilkada, jangan hanya fokus pada cara memilih kepala daerah. Kita juga harus memperbaiki sistem pemerintahan daerahnya. Mulai dari tata kelola anggaran, rekrutmen aparatur sipil, hingga hubungan keuangan antara pusat dan daerah.” katanya.

Ia menilai, revisi UU Pemda akan menjadi langkah penting untuk memastikan agar kepala daerah terpilih nantinya benar-benar bisa menjalankan mandat otonomi dengan baik dan tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat.

Kemandirian Daerah dan Tantangan Globalisasi

Selain itu, Bachtiar menekankan bahwa tantangan terbesar bagi pemerintah daerah ke depan adalah bagaimana mereka bisa beradaptasi dengan era konektivitas global. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital dan ekonomi, daerah harus mampu memanfaatkan potensi lokal untuk bersaing dan berkolaborasi dengan daerah lain.

“Sekarang dunia bukan hanya terkoneksi antarnegara, tapi juga antardaerah. Kalau daerah tidak berdaya, maka pembangunan nasional pun akan timpang. Karena itu, daerah harus diberi ruang lebih luas untuk berinovasi dan mengembangkan potensinya.” tutur Bachtiar.

Ia juga menegaskan pentingnya kepemimpinan visioner di tingkat daerah — sosok kepala daerah yang tidak hanya berpikir jangka pendek untuk kepentingan politik, tetapi juga memiliki rencana strategis untuk kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan ekonomi lokal.

Rekomendasi untuk Sistem Politik Daerah ke Depan

Bachtiar menyampaikan beberapa rekomendasi strategis untuk memperbaiki sistem Pilkada dan tata kelola pemerintahan daerah ke depan:

1.Memperkuat pendidikan politik dan etika kepemimpinan bagi calon kepala daerah agar tidak hanya berorientasi pada kekuasaan.

2.Mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pendanaan politik, untuk meminimalisasi praktik politik uang.

3.Meningkatkan kapasitas fiskal daerah melalui diversifikasi sumber pendapatan asli daerah (PAD).

4.Merevisi regulasi yang tumpang tindih antara pusat dan daerah agar tidak menghambat inovasi lokal.

5.Membangun mekanisme evaluasi berkala terhadap kinerja kepala daerah berdasarkan indikator pembangunan berkelanjutan.

Dengan langkah-langkah tersebut, Bachtiar berharap sistem Pilkada di masa depan tidak hanya menjadi ajang demokrasi lima tahunan, tetapi juga benar-benar menjadi instrumen pembangunan daerah yang berkelanjutan dan mandiri.

“Pilkada seharusnya bukan sekadar pesta demokrasi, tapi juga momentum memperkuat institusi dan mempercepat pemerataan pembangunan. Kalau daerah kuat, maka negara juga kuat.” tutupnya.