
JAKARTA – Para pengamat dan akademisi mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera merancang ulang sistem Pemilu 2029. Desakan ini muncul setelah evaluasi menunjukkan adanya berbagai kelemahan struktural, kompleksitas logistik, dan tingginya angka spoiled votes (suara tidak sah) pada Pemilu sebelumnya.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto (misalnya), menyatakan bahwa reformasi total adalah kebutuhan mendesak. “Sistem Pemilu yang terlalu rumit terbukti membebani penyelenggara, mengorbankan kualitas, dan berpotensi menurunkan legitimasi. Kita punya waktu empat tahun untuk merancang sistem 2029 yang lebih sederhana, efisien, dan inklusif,” ujarnya.
Langkah perancangan ulang ini diharapkan dapat menghasilkan sistem yang mampu meminimalisir perselisihan hasil, menjamin hak pilih, dan mengedepankan kualitas demokrasi Indonesia di masa mendatang.
Waktunya Rancang Ulang Sistem Pemilu 2029
Menatap Pemilihan Umum (Pemilu) 2029, sejumlah pihak menilai perlunya langkah dini dalam merancang sistem dan desain penyelenggaraan pemilu agar menghasilkan demokrasi yang lebih matang, transparan, dan berbasis riset ilmiah.
Dorongan tersebut disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Rahmat Saleh, dalam forum diskusi bersama para peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta. Diskusi itu turut menghadirkan sejumlah pakar kebijakan publik, termasuk peneliti senior Prof. Siti Zuhro, yang dikenal aktif mengkaji dinamika demokrasi di Indonesia.
Menurut Rahmat, persiapan penyelenggaraan Pemilu 2029 tidak boleh bersifat reaktif seperti yang sering terjadi sebelumnya. Ia menilai, reformasi sistem demokrasi perlu dimulai dengan pendekatan berbasis riset dan perencanaan jangka panjang agar proses pemilu mendatang tidak hanya menjadi rutinitas lima tahunan, melainkan benar-benar menghasilkan perubahan yang berarti bagi bangsa.
Demokrasi Bukan Sekadar Prosedur, tapi Harus Substansial
Dalam pandangan Rahmat, demokrasi sejati tidak cukup hanya mengandalkan mekanisme prosedural seperti pemungutan suara atau perhitungan hasil. Demokrasi harus memberikan ruang bagi keadilan sosial, transparansi, serta akuntabilitas dalam seluruh tahapan proses politik.
“Kalau kita ingin pemilu yang menghasilkan pemimpin berkualitas, maka desain sistemnya harus didasarkan pada riset ilmiah. Demokrasi bukan hanya soal memilih, tapi bagaimana memastikan pilihan rakyat benar-benar diterjemahkan menjadi kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik” tegasnya.
Rahmat menilai bahwa selama ini banyak kelemahan dalam sistem pemilu yang tidak kunjung terselesaikan karena kurangnya kajian mendalam. Ia menyebutkan beberapa contoh, seperti biaya politik yang sangat tinggi, lemahnya proses kaderisasi partai politik, hingga representasi politik yang belum mencerminkan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Masalah-masalah tersebut, kata Rahmat, hanya bisa diselesaikan jika desain pemilu dibangun melalui pendekatan berbasis bukti (evidence-based policy). Artinya, setiap kebijakan yang diambil harus didukung oleh data, analisis akademik, serta penelitian lapangan yang komprehensif.
Riset dan Politik Harus Berjalan Beriringan
Dalam kesempatan tersebut, Rahmat juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara lembaga politik dan lembaga riset. Menurutnya, kerja sama ini menjadi kunci untuk memperkuat arah kebijakan pemilu yang lebih objektif dan terukur.
“Kita perlu membangun sinergi nyata antara partai politik, pemerintah, dan lembaga riset seperti BRIN. Dengan begitu, setiap keputusan terkait sistem pemilu bisa lebih transparan, berbasis data, dan tidak lagi didikte oleh kepentingan sesaat.” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa riset bukan hanya membantu merancang sistem yang efisien, tetapi juga bisa menjadi alat untuk mencegah penyimpangan dan potensi kecurangan. Dengan sistem yang dirancang berdasarkan data dan evaluasi, ruang untuk manipulasi politik akan semakin kecil.
Selain itu, Rahmat mendorong agar hasil-hasil riset yang selama ini hanya tersimpan di institusi akademik dapat diterjemahkan menjadi kebijakan publik yang nyata. Menurutnya, banyak hasil penelitian di bidang politik dan sosial yang bisa menjadi referensi untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia, namun belum dimanfaatkan secara optimal.















