JAKARTA – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yang kini beroperasi, dinilai oleh beberapa pengamat sebagai “bukti keras kepala” Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menjalankan megaproyek infrastruktur, terutama dalam menghadapi kritik dan kendala.
Pengamat Kebijakan Publik, Dr. Bima Yudhistira, menyatakan bahwa keputusan Jokowi melanjutkan KCJB—meski menghadapi pembengkakan biaya (cost overrun), penolakan penggunaan APBN pada tahap awal, dan keraguan kelayakan ekonomi—menunjukkan determinasi kuat yang cenderung mengabaikan peringatan fiskal.
“KCJB telah menjadi monumen bahwa Presiden tidak mundur dari visi infrastrukturnya, meskipun konsekuensinya adalah bailout oleh negara dan penambahan utang,” ujar Bima. Menurutnya, proyek ini mencerminkan filosofi Jokowi: kecepatan pembangunan lebih penting daripada kritik proses. Meskipun demikian, pendukung proyek melihatnya sebagai keberanian politik untuk membawa Indonesia ke era transportasi modern.
Proyek Kereta Cepat Jadi Bukti Jokowi Bandel
Isu mengenai proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau yang kini dikenal dengan nama Whoosh kembali menjadi sorotan publik. Setelah pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menegaskan tidak akan menanggung utang proyek tersebut melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), berbagai pihak mulai menyoroti kembali kebijakan masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Salah satu suara kritis datang dari Syahganda Nainggolan, Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle. Ia menilai bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri secara tuntas berbagai kejanggalan yang terjadi sejak awal proyek KCJB digagas.
Menurut Syahganda, proyek bernilai triliunan rupiah ini bukan sekadar urusan pembangunan infrastruktur, melainkan menyangkut kepentingan geopolitik dan ekonomi global, terutama dengan dominasi investasi Tiongkok di Indonesia. Ia menilai bahwa sejak awal proyek tersebut telah menunjukkan pola kebijakan yang sarat kepentingan dan minim transparansi.
Pertemuan Prabowo–Trump dan Arah Baru Geopolitik
Syahganda mengaitkan keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa—yang menolak pembayaran utang proyek KCJB dari APBN—dengan perubahan arah geopolitik Indonesia pasca pertemuan antara Presiden Prabowo dan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Gaza di Mesir beberapa waktu lalu.
Menurutnya, pertemuan tersebut menjadi penanda penting bahwa Indonesia kini tengah menyeimbangkan kembali posisi geopolitiknya yang selama ini dinilai terlalu condong ke Beijing.
“Dengan bertemunya Presiden Prabowo dan Donald Trump, dunia melihat adanya sinyal bahwa Indonesia kini ingin menata ulang relasi strategisnya. Prabowo ingin menunjukkan bahwa Indonesia tidak bisa terus-menerus bergantung pada proyek-proyek beraroma Tiongkok.” ujar Syahganda dalam kanal YouTube Forum Keadilan TV, Minggu (19/10/2025).
Ia menilai bahwa hubungan baik antara Indonesia dan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan baru bisa menjadi penyeimbang dominasi ekonomi Tiongkok, terutama dalam proyek-proyek strategis seperti KCJB yang dianggap menjadi “simbol ketergantungan ekonomi” pada negara tersebut.
Proyek yang Sarat Kejanggalan Sejak Awal
Lebih jauh, Syahganda mengungkapkan bahwa sejumlah kejanggalan sudah tampak sejak proyek kereta cepat mulai direncanakan pada masa awal pemerintahan Jokowi.
Menurutnya, proposal awal pembangunan justru berasal dari pihak Jepang yang telah melakukan studi kelayakan secara menyeluruh. Namun, secara mengejutkan, Tiongkok tiba-tiba mengambil alih proyek tersebut dengan janji biaya pembangunan yang lebih rendah dan proses yang lebih cepat.
“Publik tidak pernah tahu bagaimana Tiongkok bisa tiba-tiba masuk menggantikan Jepang. Semua terjadi begitu cepat, seolah-olah sudah ada kesepakatan politik di balik layar.” tutur Syahganda.
Ia menyebut, narasi “lebih murah dan efisien” yang dibawa pihak Tiongkok ternyata tidak terbukti. Faktanya, biaya pembangunan terus membengkak, sementara utang proyek terus menumpuk, menimbulkan beban baru bagi keuangan negara.
‘Jebakan Utang’ dan Minimnya Transparansi
Syahganda menilai proyek KCJB adalah contoh klasik “debt trap diplomacy” atau jebakan utang yang sering dikaitkan dengan proyek-proyek infrastruktur Tiongkok di berbagai negara berkembang.
Menurutnya, pola pembiayaan proyek ini menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap pinjaman luar negeri, tanpa ada kajian risiko yang matang.
“Sejak awal banyak pengamat sudah memperingatkan soal potensi jebakan utang. Namun, semua kritik itu tidak pernah digubris oleh Presiden Jokowi. Pemerintah saat itu tampak sangat berambisi untuk mengejar simbol kemajuan, tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi jangka panjang.” ujarnya.
Selain masalah pembiayaan, Syahganda juga menyoroti minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek. Ia menuding bahwa berbagai keputusan penting, seperti penentuan lokasi stasiun hingga kontraktor utama, tidak melalui mekanisme terbuka sebagaimana mestinya proyek nasional berskala besar.
Jokowi Dinilai Abaikan Nasihat Banyak Pihak
Dalam pandangan Syahganda, kesalahan mendasar dari pemerintahan Jokowi adalah tidak mau mendengarkan peringatan yang sudah disampaikan banyak kalangan sejak awal.
“Sudah banyak pengamat, ekonom, bahkan politisi senior yang memberi masukan agar proyek ini ditinjau ulang. Tapi Pak Jokowi jalan terus. Tidak mau dinasihati.” tegasnya.
Menurutnya, hal ini menunjukkan pola kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada pencitraan dan proyek-proyek simbolik, ketimbang membangun fondasi ekonomi yang berkelanjutan.
“Proyek ini akhirnya lebih banyak menjadi beban daripada berkah. Dan sekarang, pemerintahan baru harus menanggung konsekuensi dari keputusan masa lalu,” tambahnya.
Sikap Tegas Pemerintahan Prabowo
Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menolak pembayaran utang proyek KCJB dari APBN dinilai sebagai langkah berani yang menandai babak baru dalam pengelolaan kebijakan fiskal dan infrastruktur nasional.
Menurut Syahganda, langkah tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Prabowo tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalu, di mana proyek-proyek besar dijalankan tanpa akuntabilitas dan kajian matang.
“Keputusan itu bukan sekadar soal uang, tapi soal sikap politik dan kedaulatan nasional. Pemerintah ingin memastikan bahwa proyek strategis negara tidak menjadi alat bagi kepentingan asing,” jelasnya.
Seruan untuk Evaluasi Menyeluruh
Syahganda mendesak agar pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan audit dan investigasi menyeluruh terhadap seluruh proses proyek KCJB, mulai dari perencanaan, kontrak, hingga pembiayaan.
“Kalau memang ada indikasi pelanggaran, harus diusut. Jangan karena ini proyek besar, lalu dibiarkan. Transparansi harus ditegakkan supaya publik tahu kebenarannya,” katanya.
Ia juga menilai, momentum politik saat ini sangat tepat untuk melakukan refleksi nasional terhadap arah pembangunan Indonesia ke depan.
“Sudah saatnya kita keluar dari jebakan utang dan kebijakan pragmatis. Negara harus berdaulat secara ekonomi, bukan terus bergantung pada pinjaman luar negeri,” tegas Syahganda menutup pernyataannya.
Kesimpulan DISKUSIBERITA :
Kasus proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung menjadi cermin bagaimana kebijakan ambisius tanpa kajian matang dapat meninggalkan jejak panjang permasalahan ekonomi dan politik. Dalam pandangan banyak analis, termasuk Syahganda Nainggolan, proyek ini menunjukkan betapa pemerintahan sebelumnya terlalu berorientasi pada simbol pembangunan, sementara aspek keberlanjutan, transparansi, dan kedaulatan ekonomi terabaikan.
Pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto tampaknya mengambil posisi berbeda. Melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, pemerintah berusaha menegaskan batas tanggung jawab fiskal negara, dengan tidak serta merta menanggung beban utang proyek yang dinilai bermasalah secara kebijakan.
Lebih dari itu, keputusan ini dianggap menjadi sinyal politik penting bahwa Indonesia ingin menata ulang arah hubungan internasionalnya, terutama dengan Tiongkok. Sikap ini juga menegaskan komitmen untuk mengembalikan prinsip kemandirian nasional dalam setiap kebijakan pembangunan.
Meski demikian, tantangan besar masih menanti. Audit menyeluruh dan evaluasi kebijakan diperlukan agar kesalahan serupa tidak terulang. Proyek KCJB seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa pembangunan tidak boleh hanya mengejar kecepatan, tetapi juga harus menjunjung prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan nasional.
1 thought on “Melawan Kritik: Proyek Kereta Cepat Jadi Bukti Keras Kepala Jokowi dalam Megaproyek Infrastruktur”